October 2018 - Alam Semesta

Sunday, October 28, 2018

Mengenal suku Dani yang ada di Papua,dan kebudayaannya

Mengenal Suku Dani dari Sejarah dan Kebudayaannya
Suku Dani
Suku Dani merupakan salah satu dari banyaknya suku di tanah papua yang mendiami wilayah Lembah Baliem, Pegunungan Tengah, dan keseluruhan Kabupaten Jayawijaya serta sebagian kabupaten Puncak Jaya. Sejak ratusan tahun lalu suku Dani dikenal sebagai petani yang terampil dan telah menggunakan alat/perkakas seperti kapak batu, pisau yang dibuat dari tulang binatang, bambu dan juga tombak yang dibuat menggunakan kayu galian yang terkenal sangat kuat dan berat.

Menurut mitologi suku Dani berasal dari keuturunan sepasang suami istri yang menghuni suatu danau di sekitar kampung Maina di Lembah Baliem Selatan. Mereka mempunyai anak bernama Woita dan Waro. Orang Dani dilarang menikah dengan kerabat suku Moety sehingga perkawinannya berprinsip eksogami Moety (perkawinan Moety / dengan orang di luar Moety).

Suku ini pertama kali diketahui di Lembah Baliem diperkirakan sekitar ratusan tahun yang lalu. Dan orang yang pertama berinteraksi dengan suku ini adalah tim penyidik asal Amerika Serikat yang dipimpin oleh Richard tahun 1935.

Pakaian Adat

Pakaian adat Suku Dani untuk pria menggunakan ''koteka'' (yaitu penutup kemaluan pria). Koteka terbuat dari kunden (labu kuning). Sedangkan pakaian adat para wanita menggunakan pakaian wah berasal dari rumput/serat.

Bahasa Suku Dani

Suku Dani memiliki 3 sub keluarga bahasa, yaitu:

  1. Sub keluarga Wano di Bokondini
  2. Sub keluarga Dani Pusat yang terdri atas logat Dani Barat dan logat lembah Besar Dugawa.
  3. Sub keluarga Nggalik & ndash

Bahasa suku Dani termasuk keluarga bahasa Melansia dan bahasa Papua tengah (secara umum).

Kepercayaan

Kepercayaan dasar suku Dani masih menganut kepercayaan menghormati roh nenek moyang. Upacara kepercayaan diselenggarakan dengan pesta babi. Konsep kepercayaannnya adalah Atou, yaitu kekuatan sakti para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki). Kekuasaan sakti tersebut meliputi:

  1. kekuatan menjaga kebun
  2. kekuatan menyembuhkan penyakit dan menolak bala
  3. kekuatan menyuburkan tanah.

Sebagai tanda untuk menghormati nenek moyangnya mereka membuat lambang nenek moyang yang disebut Kaneka. Selain itu juga ada upacara keagamaan yang disebut Kaneka Hagasir menyejahterakan keluarga masyarakat serta untuk mengawali dan mengakhiri perang.

Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan masyarakat Dani ada tiga, yaitu :

1. Kelompok kekerabatan yang terkecil dalam masyarakat suku Dani adalah keluarga luas. Keluarga luas ini terdiri atas tiga atau dua keluarga inti bersama – sama menghuni suatu kompleks perumahan yang ditutup pagar (lima).

2. Paroh masyarakat. Struktur masyarakat Dani merupakan gabungan beberapa ukul (klen kecil) yang disebut ukul oak (klen besar)

3. Kelompok teritorial. Kesatuan teritorial yang terkecil dalam masyarakat suku bangsa Dani adalah kompleks perumahan (uma) yang dihuni untuk kelompok keluarga luas yang patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki).

Pernikahan

Pernikahan orang Dani bersifat poligami diantaranya poligini. Keluarga batih ini tinggal di satu – satuan tempat tinggal yang disebut silimo. Sebuah desa Dani terdiri dari 3 dan 4 slimo yang dihuni 8 dan 10 keluarga.

Kesenian

Masyarakat Dani mempunyai seni kerajinan khas, anyaman kantong jaring penutup kepala dan pegikat kapak. Selain itu juga terdapat beberapa peralatan yang terbuat dari bata seperti Moliage, Valuk, Sege, Wim, Kurok, dan Panah sege.

Politik dan Kemasyarakatan yang Bersahaja

Masyarakat Dani senantiasa hidup berdampingan dan saling tolong menolong, kehidupan masyarakat Dani memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

  1. Masyarakat Dani memiliki kerjasama yang bersifat tetap dan selalu bergotong royong
  2. Setiap rencana pendirian rumah selalu didahului dengan musyawarah yang dipimpin oleh seorang penata adat atau kepala suku
  3. Organisasi kemasyarakat pada suku Dani ditentukan berdasarkan hubungan keluarga dan keturunan dan berdasarkan kesatuan teritorial.
  4. Suku Dani dipimpin oleh seorang kepala suku besar yaitu disebut Ap Kain yang memimpin desa adat watlangka, selain itu ada juga 3 kepala suku yang posisinya berada di bawah Ap Kain dan memegang bidang sendiri & ndash; sendiri, mereka adalah : Ap. Menteg, Ap. Horeg, dan Ap Ubaik Silimo biasa yang dihuni oleh masyatakat biasa dikepalai oleh Ap. Waregma. Dalam masyarakat Dani tidak ada sistem pemimpin, kecuali istilah kain untuk pria yang berarti kuat, pandai dan terhormat.
  5. Pada tingkat uma, pemimpinnya adalah laki-laki yang sudah tua, tetapi masih mampu mengatur urusannya dalam satu halaman rumah tangga maupun kampungnya. Urusan tersebut antara lain pemeliharaan kebun dan Bahi serta melerai pertengkaran.
  6. Pemimpin federasi berwenang untuk memberi tanda dimulainya perang atau pesta lain. Pertempuran dipimpin untuk para win metek. Pemimpin konfederasi biasanya pernah juga menjadi win metek, meski bukan syarat mutlak, syarat menjadi pemimpin masyarakat Dani : Pandai bercocok tanam, bersifat ramah dan murah hati, pandai berburu, memiliki kekuatan fisik dan keberanian, pandai berdiplomasi, dan pandai berperang.


Mata Pencaharian

Mata pencaharian pokok suku bangsa Dani adalah bercocok tanam dan beternak babi. Tanaman umum yang mereka tanam adalah Umbi manis pisang, tebu, dan tembakau. Selain berkebun, mata pencaharian suku Dani adalah beternak babi. Babi memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari suku Dani. Kandang Babi bernama wamai (wam = babi; ai = rumah) berupa bangunan berbentuk empat persegi panjang yang bentuknya hampir sama dengan hunu.
Kegunaan Babi bagi masyarakat Dani :

  1. Dagingnya untuk dikonsumsi
  2. Darahnya dipakai dalam upacara magis
  3. Tulang-tulang dan ekornya untuk hiasan
  4. Tulang rusuknya digunakan untuk pisau pengupas ubi
  5. Sebagai alat pertukaran/barter
  6. Menciptakan perdamaian bila ada perselisihan

Suku Dani berdagang dengan masyarakat sekitar dengan barang-barang yang diperdagangkan adalah batu untuk membuat kapak, kayu, serat, kulit binatang, dan bulu burung.

Rumah Adat

Rumah adat suku Dani disebut dengan Honai dan Ebe’ai. Ukurannya tergolong kecil dengan bentuk bundar, berdinding kayu dan beratap jerami. Namun, ada pula rumah yang bentuknya persegi panjang. Rumah jenis ini namanya Ebe'ai (Honai Perempuan). Perbedaan antara Honai dan Ebe'ai terletak pada jenis kelamin penghuninya. Honai dihuni oleh laki-laki, sedangkan Ebe'ai (Honai Perempuan) dihuni oleh perempuan.

Tradisi Potong Jari

Tradisi Potong Jari Suku Dani


Salah satu tradisi yang tidak lazim di masyarakat suku Dani adalah tradisi potong jari. Tradisi tersebut dilakukan dengan cara menunjukkan kesedihan dan rasa duka cita ditinggalkan anggota keluarga yang meninggal dunia. Mereka melakukan potong jari untuk mengembalikan kembali perasaan sakit akibat kehilangan. Bukan cuman satu jari saja yang dipotong, bahkan kadang sampai semua jarinya dipotong. Namun dari beberapa sumber, tradisi ini hanya berlaku bagi kaum wanita saja. Seiring berkembangnya jaman dan masuknya agama-agama, tradisi potong jari ini sudah hampir ditinggalkan.

Saturday, October 27, 2018

Prosesi pernikahan adat jawa yang penuh dengan filosofi tinggi

11 prosesi pernikahan adat jawa


1. Siraman: Membersihkan diri menjelang "acara" besar.

Sebelum memulai upacara pernikahan, pengantin melakukan siraman dari kata siram (mandi). Hal ini dimaksudkan untuk membersihkan diri kedua pengantin sebelum menjalankan upacara yang sakral. Ada tujuh orang yang akan menyiramkan air kepada calon pengantin. Tujuh di sini dalam Bahasa Jawa adalah "pitu" yaitu pitulungan (pertolongan) kepada calon pengantin.

2. Midodareni: Simbol malam yang baik untuk bersilaturahmi.

Silaturahmi antara kedua keluarga besar yaitu keluarga mempelai pria berkunjung ke rumah mempelai wanita. Malam Midodareni diadakan semalam sebelum upacara pernikahan dimulai keesokan harinya. Malam Midodareni dianggap sebagai malam yang baik yang dimaknai sebagai turunnya para bidadari.

3. Injak Telur: Dimaknai harapan dan lambang kesetiaan.


Telur dimaknai sebagai harapan agar pengantin memiliki keturunan yang merupakan tanda cinta kasih berdua. Setelah menginjak telur, pengantin wanita akan membasuh kaki pengantin pria yang merupakan lambang kesetiaan seorang istri pada suaminya.

4. Sikepan Sindur: Tali kasih yang erat dan tak terpisahkan.

Sikepan Sindur dilakukan setelah injak telur yaitu membentangkan kain atau sindur kepada kedua mempelai oleh ibu untuk kemudian berjalan menuju ke pelaminan. Bagian ini melambangkan harapan dari orang tua agar kedua mempelai selalu erat karena telah dipersatukan. Ayah akan menuntun kedua mempelai dengan berjalan memegang sindur tersebut.

5. Pangkuan: Berbagi kasih yang adil.

Kedua mempelai duduk di pangkuan sang ayah mempelai wanita. Pengantin wanita duduk di sebelah paha kiri ayah dan laki-laki disebelah kanan paha ayah. Bagian upacara ini menunjukkan bahwa kelak kedua mempelai akan memiliki keturunan dan diharapkan dapat berbagi kasih sayang yang adil seperti sang ayah. Bagian ini juga bermakna menimbang yang dimaksud tidak ada perbedaan kasih sayang untuk anak dan menantu.

6. Kacar Kucur: Lambang dari kesejahteraan dalam rumah tangga.


Mempelai pria akan mengucurkan sebuah kantong yang diisi dengan biji-bijian, uang receh dan beras kuning ke pangkuan wanita. Hal ini bermakna bahwa tugas suami adalah mencari nafkah dan istri yang mengelolanya. Bagian ini merupakan lambang dari kesejahteraan dalam rumah tangga.

7. Dulang-dulangan: Saling menolong dan rukun.

Adapula bagian prosesi yang disebut dengan Dahar Klimah atau dulang-dulangan (suap-menyuapi). Kedua mempelai akan saling menyuapi sebanyak tiga kali dan acara ini mempunyai harapan agar kedua mempelai selalu rukun dan saling tolong menolong dalam menempuh hidup baru sebagai keluarga.

8. Sungkeman: Bakti pada orangtua atau sesepuh.

Sungkeman merupakan bukti atau bentuk dari penghormatan kepada orang tua dan sesepuh. Sungkeman dilakukan kepada orang tua dan diteruskan kepada sesepuh yang lainnya. Prosesi ini merupakan hal yang sangat ditunggu-tunggu oleh kedua pengantin untuk mendapatkan restu dari orang tua untuk menjalani kehidupan yang baru bersama pasangan.

9. Janur kuning: Harapan mendapatkan cahaya yang baik.

Pasti kita sering mendengar janur kuning yaa. Dimana janur kuning merupakan gerbang untuk memasuki resepsi pernikahan. Janur "Jalarane Nur" yang maknanya agar pernikahan tersebut mendapatkan cahaya atau pencerahan untuk rumah tangga yang baru. Janur Kuning juga dimaksudkan untuk menandai adanya acara dan menyingkirkan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.

10. Kembar mayang: Makna akan setiap harapan baik untuk rumah tangga nanti.

Rangkaian janur, daun dan ornamen-ornamen lainnya dan memiliki makna-makna yang berbeda. Terdapat ornamen janur yang dibentuk keris bermakna pengantin harus pandai dan berhati-hati serta bijaksana dalam menjalani kehidupan. Terdapat juga ornamen burung yang melambangkan motivasi yang tinggi dalam menjalani hidup.

11. Tarub: Kemakmuran dan harapan.

Tanda untuk menunjukkan bahwa keluarga sedang mengadakan acara dan keluarga yang memiliki hajatan tersebut akan memiliki hak-haknya. Biasanya, keluarga tersebut akan diberikan jalan, tarub berisi berbagai macam tumbuhan yang masing-masing memiliki makna. Tarub sendiri mempunyai lambang kemakmuran dan harapan bagi keluarga baru.
Sekarang kalian sudah mengerti beberapa makna yang ada di balik prosesi pernikahan dan hiasan pada acara pernikahan. Meski mungkin terkesan "ribet" tapi maknanya dalam lho.

Friday, October 26, 2018

Mengenal suku sasak di Lombok



  Suku SASAK


  Suku Sasak telah menghuni Pulau Lombok selama berabad-abad, Mereka telah menghuni wilayahnya sejak 4.000 Sebelum Masehi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa orang Sasak berasal dari percampuran antara penduduk asli Lombok dengan para pendatang dari Jawa. Ada juga yang menyatakan leluhur orang sasak adalah orang Jawa.





Pulau Lombok merupakan kampung halaman Suku Sasak, terletak di sebelah timur Pulau Bali, dipisahkan oleh Selat Lombok. Di sebelah barat Pulau ini berbatasan dengan Selat Atas yang memisahkan pulau ini dengan Pulau Sumbawa. Luas wilayah pulau yang termasuk ke dalam Provinsi Nusa Tenggara Barat ini kurang lebih 5435 km2.
Pulau Lombok secara administratif terdiri dari lima Kabupaten dan Kota yakni Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Tengah, dan Kota Mataram. Kurang lebih ada sekitar 3 juta jiwa yang mendiami pulau lombok, 80% di antaranya adalah Suku Sasak.
Menurut Goris S., “Sasak” secara etimologi, berasal dari kata “sah” yang berarti “pergi” dan “shaka” yang berarti “leluhur”. Dengan begitu Goris menyimpulkan bahwa sasak memiliki arti “pergi ke tanah leluhur”. Dari pengertian inilah diduga bahwa leluhur orang Sasak itu adalah orang Jawa.
Etimologi: (Linguistik); cabang dari ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul serta perubahan kata dalam bentuk dan makna.
Bukti lainnya merujuk kepada aksara Sasak yang digunakan oleh orang Sasak disebut sebagai “Jejawan”, merupakan aksara yang berasal dari tanah Jawa, pada perkembangannya, aksara ini diresepsi dengan baik oleh para pujangga yang telah melahirkan tradisi kesusasteraan Sasak.
Pendapat lain menyoal etimologi Sasak beranggapan bahwa kata itu berasal dari kata sak-sak yang dalam bahasa sasak berarti sampan. Pengertian ini dihubungkan dengan kedatangan nenek moyang orang Sasak dengan menggunakan sampan dari arah barat. Sumber lain yang sering dihubungkan dengan etimologi Sasak adalah kitab Nagarakertagama yang memuat catatan kekuasaan Majapahit abad ke-14, ditulis oleh Mpu Prapanca.
Dalam kitab Nagarakertagama terdapat ungkapan “lombok sasak mirah adi” yang kurang lebih dapat diartikan sebagai “kejujuran adalah permata yang utama”. Pemaknaan ini merujuk kepada kata sasak (sa-sak) yang diartikan sebagai satu atau utama; Lombok (Lomboq) dari bahasa kawi yang dapat diartikan sebagai jujur atau lurus; mirah diartikan sebagai permata dan adi bermakna baik.

Sejarah, Pengaruh, dan Kekuasaan

Sejarah Lombok sepertinya tidak dapat dipisahkan dari silih bergantinya kekuasaan dan peperangan pada masa itu. Baik itu peperangan antar kerajaan di Lombok sendiri, maupun peperangan yang ditimbulkan oleh perluasan kekuasaan dari wilayah lain.
Konon, pada masa pemerintahan Raja Rakai Pikatan di Medang (Mataram Kuno), telah banyak pendatang dari Pulau Jawa ke Pulau Lombok. Banyak diantara mereka kemudian melakukan pernikahan dengan warga setempat sehingga keturunan-keturunan selanjutnya dikenal sebagai suku sasak.
Selanjutnya, dalam catatan sejarah abad ke-14-15 Masehi, Pulau Lombok ini kemudian berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit. Bahkan kabarnya Maha Patih Gajah Mada sendiri yang waktu itu datang ke Pulau Lombok untuk menundukan beberapa kerajaan yang ada di Pulau itu.
Melemahnya pengaruh Majapahit membuka jalan bagi perkembangan Islam ke daerah Lombok. Islam mungkin sudah sampai di Pulau lombok jauh sebelumnya, tapi penyebaran yang signifikan muncul karena bantuan para wali beserta kekuasaan Islam di tanah Jawa dan wilayah Makassar.
Selama kurun waktu abad ke-16-17 Islam bahkan telah berhasil menguasai Kerajaan Selaparang, salah satu kerajaan yang cukup kuat di Pulau Lombok. Islam kemudian menyebar di Lombok, meski masih tetap tercampur dengan kebudayaan lokal.
Kerajaan Bali yang selalu berusaha menjadikan wilayah Lombok menjadi kekuasaannya, berhasil menduduki Lombok Barat sekitar akhir abad ke-I7 Masehi, kemudian melebarkan kekuasaannya terhadap hampir seluruh wilayah Lombok setelah berhasil menaklukan Selaprang dan memukul mundur pengaruh Makassar.
Belanda yang saat itu telah menguasai Sumbawa dibukakan jalan oleh bangsawan Sasak untuk berkuasa di Lombok. Konon Kabarnya para bangsawan sasak meminta campur tangan dari militer Belanda agar memerangi dinasti Bali di Lombok.
Ketika akhirnya Belanda berhasil mengambil penguasaan Lombok dari Kerajaan Bali, alih-alih mengembalikan Lombok kepada para bangsawan Sasak, mereka justru menjadi penjajah baru di wilayah itu. Menurut Kraan (1976) menyebutkan bahwa Belanda telah berhasil mengambil wilayah yang sebelumnya berada di bawah Kerajaan Bali, dan memberlakukan pajak yang sangat tinggi pada penduduknya.
Antara Jawa-Bali-Lombok memang mempunyai beberapa kesamaan budaya, selain karena faktor perluasan kekuasaan kerajaan-kerajaan yang silih berganti, kedekatan wilayah yang memungkinkan penduduknya dengan mudah berpindah dan terjadi akulturasi budayanya.
Bahasa Orang Sasak
Bahasa Sasak, terutama yang berkenaan dengan sistem aksaranya, memiliki kedekatan dengan sistem aksara Jawa-Bali, sama-sama menggunakan aksara Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Kendati demikian, secara pelafalan, bahasa Sasak ternyata lebih memiliki kedekatan dengan bahasa Bali.
Etnologi: Cabang dari antropologi, yang mempelajari berbagai suku bangsa beserta aspek kebudayaannya, dan hubungan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Etnis: Suku bangsa. Etnolog: Adalah orang yang ahli etnologi.
Menurut penelitian para etnolog yang mengumpulkan hampir semua bahasa di dunia, menggolongkan bahasa Sasak kedalam rumbun bahasa Austronesia Malayu-Polinesian, Juga ada kesamaan ciri dengan rumpun bahasa Sunda-Sulawesi, dan Bali-Sasak.
Bahasa Sasak yang digunakan di Lombok secara dialek dan lingkup kosakatanya dapat digolongkan kedalam beberapa bahasa sesuai dengan wilayah penuturnya; Mriak-Mriku (Lombok Selatan), Meno-Menedan Ngeno-Ngene (Lombok Tengah), Ngeto-Ngete (Lombok Tenggara), dan Kuto-Kute (Lombok Utara).

Struktur dan Sistem Masyarakat Sasak

Suku Sasak pada masa lalu secara sosial-politik, digolongkan dalam dua tingkatan sosial utama, yaitu golongan bangsawan yang disebut perwangsadan bangsa Ama atau jajar karangsebagai golongan masyarakat kebanyakan.
Golongan perwangsa ini terbagi lagi atas dua tingkatan, yaitu bangsawan tingi (perwangsa) sebagai penguasa dan bangsawan rendahan (triwangsa). Bangsawan penguasa (perwangsa) umumnya menggunakan gelar datu. Selain itu mereka juga disebut Radenuntuk kaum laki-laki dan Denda untuk perempuan.
Seorang Raden jika menjadi penguasa maka berhak memakai gelar datu. Perubahan gelar dan pengangkatan seorang bangsawan penguasa itu umumnya dilakukan melalui serangkaian upacara kerajaan.
Bangsawan rendahan (triwangsa) biasanya menggunakan gelar laluuntuk para lelakinya dan baiq untuk kaum perempuan. Tingkatan terakhir disebut jajar karang atau masyarakat biasa.Panggilan untuk kaum laki-laki di masyarakat umum ini adalah loq dan untuk perempuan adalah le.
Golongan bangsawan baik perwangsadan triwangsa disebut sebagai permenak. Para permenak ini biasanya menguasai sejumlah sumber daya dan juga tanah. Ketika Kerajaan Bali dinasti Karangasem berkuasa di Pulau Lombok, mereka yang disebutpermenak kehilangan haknya dan hanya menduduki jabatan pembekel (pejabat pembantu kerajaan).
Masyarakat Sasak sangat menghormati golongan permenak baik berdasarkan ikatan tradisi dan atau berdasarkan ikatan kerajaan. Di sejumlah desa, seperti wilayah Praya dan Sakra, terdapat hak tanah perdikan (wilayah pemberian kerajaan yang bebas dari kewajiban pajak).
Setiap penduduk mempunyai kewajiban apati getih, yaitu kewajiban untuk membela wilayahnya dan ikut serta dalam peperangan. Kepada mereka yang berjasa, Kerajaan akan memberikan beberapa imbalan, salah satunya adalah dijadikan wilayah perdikan.
Landasan sistem sosial masyarakat dalam kehidupan suku Sasak umumnya mengikuti garis keturunan dari pihak laki-laki (patrilineal). Akan tetapi, dalam beberapa kasus hubungan masyarakatnnya terkesan bilateral atau parental (garis keturunan diperhitungkan dari kedua belah pihak; ayah dan ibu).
Pola kekerabatan yang dalam tradisi suku sasak disebut Wiring Kadang ini mengatur hak dan kewajiban anggota masyarakatnya. Unsur-unsur kekerabatan ini meliputi Kakek, Ayah, Paman (saudara laki-laki ayah), Sepupu (anak lelaki saudara lelaki ayah), dan anak-anak mereka.
Wiring Kadang juga mengatur tanggung jawab mereka terhadap masalah-masalah keluarga; pernikahan, masalah warisan dan hak-kewajiban mereka. Harta warisan disebut pustaka dapat berbentuk tanah, rumah, dan juga benda-benda lainnya yang merupakan peninggalan leluhur. Orang-orang Bali memiliki pola kekerabatan yang hampir sama disebut purusa dengan harta waris yang disebut pusaka.

Kepercayaan Masayarakat Sasak

Boda adalah nama dari kepercayaan asli Suku Sasak, beberapa menyebutnya Sasak Boda. Walapun ada kesamaan pelafalan dengan Buddha, Boda tidak memiliki kesamaan dan hubungan dengan Buddhisme.
Orang Sasak yang menganut kepercayaan Boda tidak mengenal dan mengakui Sidharta Gautama (Sang Buddha) sebagai figur utama. Agama Boda orang Sasak ini justru ditandai dengan penyembahan roh-roh leluhur mereka sendiri dan juga percaya terhadap berbagai.
Kerajaan Majapahit masuk ke Lombok dan membawa serta budayanya. Hindu-Buddha Majapahit pun kemudian dikenal oleh Suku Sasak. Di akhir abad ke 16 hingga abad ke 17 awal perkembangan agama Islam menyentuh pulau Lombok. Salah satunya karena peran Sunan Giri. Setelah perkembangan Islam, kepercayaan Suku Sasak sebagian berubah dari Hindu menjadi penganut Islam.
Berdasarkan sistem kepercayaan Suku Sasak pada masa-masa selanjutnya, kemudian dapat diklasifikasikan tiga kelompok utama; Boda, Wetu Telu, dan Islam (Wetu Lima).
Penganut Boda sebagai komunitas kecil yang berdiam di wilayah pegunungan utara dan di lembah-lembah pegunungan Lombok bagian selatan. Kelompok Boda ini konon adalah orang-orang Sasak yang dari segi kesukuan, budaya, dan bahasa menganut kepercayaan asli. Mereka menyingkir ke daerah pegunungan melepaskan diri dari islamisasi di Lombok.
Sedangkan Agama Wetu telu awalnya memiliki ciri sama dengan Hindu-Bali dan Kejawen. Di antara unsur-unsur umum, peran leluhur begitu menonjol. Hal itu didasarkan pada pandangan yang berakar pada kepercayaan tentang kehidupan senantiasa mengalir.
Pada perkembangannya Wetu telujustru lebih dekat dengan Islam. Konon, sekarang hampir semua desa suku Sasak sudah menganut Agama Islam lima waktu dan meninggalkan Wetu telu sepenuhnya. Sementara sinkretisme Islam-Wetu telu kini berkembang terbatas di beberapa bagian utara dan selatan Pulau Lombok. Meliputi Bayan, dataran tinggi Sembalun, Suranadi di Lombok Timur, Pujut di Lombok Tengah, dan Tanjung di Lombok Barat.
Istilah Islam-Wetu Telu diberikan karena penganut kepercayaan ini beribadah tiga kali di bulan puasa, yaitu waktu Magrib, Isya, dan waktu Subuh. Di luar bulan puasa, mereka hanya satu hari dalam seminggu melakukan ibadah, yaitu pada hari Kamis dan atau Jumat, meliputi waktu Asar. Untuk urusan ibadah lainnya biasanya dilakukan oleh pemimpin agama mereka; para kiai dan penghulu.
Para penganut Islam-Wetu telumembangun Masjid (tempat ibadah) mereka dengan gaya arsitektur khas Suku Sasak; dari kayu dan bambu, dengan bagian atapnya terbuat dari jenis alang-alang atau sirap dari bambu.
Dengan denah berbentuk persegi empat dan bagian atap seperti piramid bertumpang yang disangga dengan tiang-tiang, beberapa ahli menilai arsitektur masjid ini mirip dengan Arsitektur masjid lama di Ternate dan Tidore.
Tata Ruang dan Arsitektur Suku Sasak
Rumah-rumah suku Sasak berbeda dengan arsitektur Bali pada umumnya. Di dataran, perkampungan suku Sasak cenderung luas dan melintang. Desa-desa Suku Sasak di wilayah pegunungan tertata rapi mengikuti perencanaan yang pasti.
Di Lombok bagian utara, biasanya perkampungan Suku Sasak terdapat dua baris rumah tipe bale, dengan sederet lumbung padinya di satu sisi yang lain. Bangunan lain yang menjadi ciri khas perkampungan orang Sasak adalah rumah besar (bale bele).
Di antara deretan rumah-rumah itu dibangun balai yang bersisi terbuka (beruga) sebagai tempat pertemuan. Balai terbuka menyediakan panggung untuk kegiatan sehari-hari dalam fungsi hubungan sosial masyarakat. Balai ini juga digunakan untuk urusan keagamaan misalnya upacara penghormatan jenazah sebelum dikuburkan. Sementara makam leluhur yang terdiri dari rumah-rumah kayu dan bambu kecil dibangun di wilayah bagian atas dari perkampungan.
“Lumbung Padi Suku Sasak”. Gambar oleh Wacana Nusantara
              “Lumbung Padi Suku Sasak”. 
Sedikitnya ada empat jenis dasar lumbung dengan ukuran yang berbeda-beda. Semua lumbung, kecuali jenis lumbung padi yang berukuran kecil, memiliki panggung di bawah.
Di desa-desa Lombok bagian selatan, panggung yang berada di bagian bawah lumbung padi berperan sebagai balai. Di Lombok bagian utara, tidak semua desa memiliki lumbung padi.
Lumbung padi menjadi ciri khas yang sangat menarik dalam arsitektur suku Sasak. Bangunan Lumbung itu didirikan pada tiang-tiang dengan cara dan ciri khas yang mirip bangunan-bangunan Austronesia.
Bangunan ini memiliki atap berbentuk “topi” yang ditutup ilalang. Empat tiang besar menyangga tiang-tiang melintang di bagian atas tempat kerangka utama dibangun. Bagian atas  penopang kayu kemudian menguatkan rangka-rangka bambunya yang semua bagiannya ditutupi ilalang.
Satu-satunya yang dibiarkan terbuka adalah sebuah lubang persegi kecil yang terletak tinggi di bagian ujung berfungsi untuk menaruh padi hasil panen. Untuk mencegah hewan pengerat masuk. Piringan kayu besar yang mereka sebut jelepreng, disusun di bagian atas puncak tiang dasarnya.
Rumah tradisional Suku Sasak berdenah persegi, tidak berjendela dan hanya memiliki satu pintu dengan pintu ganda yang telah diukir halus. Di bagian dalam, tidak terdapat tiang-tiang penyangga atap.
Bubungan atapnya curam, terbuat dari jerami yang memiliki ketebalan kurang lebih 15 centimeter. Atap itu sengaja dibiarkan menganjur ke bagian dinding dasar yang hampir menutupi bagian dinding.
Dinding terdiri dari dua bagian, bagian tengah yang menyatu dengan atap dibuat dari bambu, bagian bawah dibuat dari campuran lumpur, dan jerami yang permukaannya telah dipelitur halus.
“Rumah Adat Suku Sasak”. Gambar oleh Wacana Nusantara
                                     “Rumah Adat Suku Sasak”.

Rumah digunakan terutama untuk tempat tidur dan memasak. Masyarakat Sasak jarang menghabiskan waktu di dalam rumah sepanjang hari.
Di sisi sebelah kiri dibagi untuk tempat tidur anggota keluarga, juga terdapat rak di langit-langitnya untuk menyimpan pusaka dan benda berharga.
Anak laki-laki tidur di panggung bawah bagian luar; anak perempuan tidur di atas bagian dalam panggung.
Untuk kegiatan memasak, bagian dalam rumah berisi tungku yang berada di sisi sebelah kanan yang dilengkapi rak-rak untuk menyimpan dan mengeringkan jagung. Kayu bakar disimpan di belakang rumah, kadang juga disimpan di bawah panggung.

Tradisi dan Seni

Dari sejarahnya yang panjang, Suku Sasak bisa saja diidentifikasikan sebagai budaya yang banyak mendapat pengaruh dari Jawa dan Bali. Pun sejarah mencatatnya demikian, kenyataannya kebudayaan Suku Sasak memiliki corak dan ciri budaya yang khas, asli dan sangat mapan hingga berbeda dengan budaya suku-suku lainnya di Nusantara.
Kini, Sasak bahkan dikenal bukan hanya sebagai kelompok masyarakat tapi juga merupakan entitas budaya yang melambangkan kekayaan tradisi Bangsa Indonesia di mata dunia.
Berikut beberapa seni dan tradisi yang cukup terkenal dari suku Sasak:
Bau Nyale. Nyale adalah sejenis binatang laut, termasuk jenis cacing (anelida) yang berkembang biak dengan bertelur. Dalam alam kepercaan Suku Sasak, Nyale bukan sekedar binatang, beberapa legenda dari Suku ini yang menceritakan tentang putri yang menjelma menjadi Nyale.
Lainnya menyatakan bahwa Nyaleadalah binatang anugerah, bahkan keberadaannya dihubungkan dengan kesuburan dan keselamatan.
Ritual Bau Nyale atau menangkap nyale digelar setahun sekali. Biasanya pada tanggal 19 atau 20 pada bulan ke-10 atau ke-11 menurut perhitungan tahun suku Sasak, kurang lebih berkisar antara bulan Februari atau Maret.
Rebo Bontong. Suku Sasak percaya bahwa hari Rebo Bontong merupakan hari puncak terjadi bencana dan atau penyakit (Bala) sehingga bagi mereka sesuatu yang tabu jika memulai pekerjaan tepat pada hari Rebo Bontong. Kata Rebo dan juga Bontong kurang lebih artinya “putus” atau “pemutus”.
Upacara Rebo Bontong dimaksudkan untuk dapat menghindari bencana atau penyakit. Upacara ini digelar setahun sekali yaitu pada hari Rabu di minggu terakhir bulan Safar dalam kalender Hijriah.
Bebubus BatuDari kata “bubus”, yaitu sejenis ramuan obat berbahan dasar beras yang dicampur berbagai jenis tanaman, dan dari kata batu yang merujuk kepada batu tempat melaksanakan upacara.
Bebubus Batu adalah upacara yang digelar untuk meminta berkah kepada sang Kuasa. Upacara ini dilaksanakan tiap tahun, dipimpin oleh Penghulu (pemangku adat) dan Kiai (ahli agama). Masyarakat ramai-ramai mengenakan pakaian adat serta membawa dulang, sesajen dari hasil bumi.
Sabuk Beleq Merujuk kepada sebuah pustaka sabuk yang besar (Beleq) bahkan panjangnya mencapai 25 meter, masyarakat Lombok khususnya mereka yang berada di wilayah Lenek Daya akan menggelar upacara pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun Hijriah.
Tradisi pengeluaran Sabuk Bleeq ini mereka awali dengan mengusung Sabuk Beleq mengelilingi kampung diiringi dengan tetabuhan gendang beleq. Ritual upacara kemudian dilanjutkan dengan menggelar praja mulud hingga diakhiri dengan memberi makan berbagai jenis makhluk.
Upacara ini dilakukan untuk mempererat ikatan persaudaraan, persatuan dan gotong royong antar masyarakat, serta cinta kasih di antara makhluk Tuhan.
Lomba Memaos. Memaos kurang lebih artinya membaca dan orang yang membaca di sebut pepaos. Lomba memaos adalah lomba untuk membaca lontar yang menceritakan hikayat dari leluhur mereka.
Tujuan lomba pembacaan cerita ini adalah agar generasi selanjutnya dapat mengetahui kebudayaan dan sejarah masa lalu. Selain itu, Lomba ini juga dapat berfungsi sebagai regenerasi nilai-nilai sosia, budaya, dan tradisi pada generasi penerus. Satu kelompok pepaos biasanya terdiri dari 3-4 orang; pembaca, pejangga, dan pendukung vokal.
Tandang MendetTandang Mendetadalah tarian perang Suku Sasak. Konon Tarian ini telah ada sejak zaman Kerajaan Selaparang. Tarian yang menggambarkan keperkasaan dan perjuangan ini dimainkan oleh belasan orang dengan berpakaian dan membawa alat-alat keprajuritan lenggap; kelewang (pedang), tameng, tombak. Tarian diiringi dengan hentakan gendang beleq serta pembacaan syair-syair perjuangan.
Peresean. Kadang ada yang menulisnya Periseian dan atau Presean adalah seni bela diri yang dulu digunakan oleh lingkungan kerajaan. Peresean awalnya adalah latihan pedang dan perisai bagi seorang prajurit. Pada perkembangannya, latihan ini menjadi pertunjukan rakyat untuk menguji ketangkasan dan “keberanian”.


“Tarung Peresean”. Foto dari Tropenmuseum
“Tarung Peresean Tempo Doeloe”. Foto dari Tropenmuseum

Senjata yang digunakan adalah sebilah rotan yang dilapisi pecahan kaca. Dan untuk menangkis serangan, pepadu (pemain) biasanya membawa sebuah perisai (ende) yan terbuat dari kayu berlapis kulit lembu atau kerbau. Setiap pepadu memakai ikat kepala dan mengenakan kain panjang.
Festival peresean diadakan setiap tahun terutama di Kabupaten Lombok Timur yang akan diikuti oleh pepadu dari seluruh Pulau Lombok.
Begasingan. Permainan rakyat yang mempunyai unsur seni dan olahraga, bahkan termasuk permainan tradisional yang tergolong tua di masyarakat Sasak. Permainan tradisional ini juga dikenal di beberapa wilayah lain di Indonesia.
Hanya saja, Gasing orang sasak ini berbeda baik bentuk maupun aturan permainannya. Gasing besar, mereka namai pemantok, digunakan untuk menghantam gasing pengorong atau pelepas yang ukurannya lebih kecil.
Begasingan berasal dari kata gang yang artinya “lokasi”, dan dari kata singartinya “suara”. Permainan tradisional ini tak mengenal umur dan tempat, bisa siapa saja, bisa di mana saja.
Slober. Alat musik tradisional Lombok yang cukup tua, unik, dan bersahaja. Slober dibuat dari pelepah enau dan ketika dimainkan alat musik ini biasanya didukung dengan alat musik lainnya seperti gendang, gambus, seruling, dll. Kesenian yang masih dapat anda saksikan hingga saat ini, sangat asyik jika dimainkan ketika malam bulan purnama.
Gendang BeleqSatu dari kesenian Lombok yang mendunia. Gendang Beleqmerupakan pertunjukan dengan alat perkusi gendang berukuran besar (Beleq) sebagai ensembel utamanya. Komposisi musiknya dapat dimainkan dengan posisi duduk, berdiri, dan berjalan untuk mengarak iring-iringan.
Ada dua jenis gendang beleq yang berfungsi sebagai pembawa dinamika yaitu gendang laki-laki atau gendang mama dan gendang nina atau gendang perempuan).
Sebagai pembawa melodi adalah gendang kodeq atau gendang kecil. Sedangkan sebagai alat ritmis adalah dua buah reog, 6-8 buah perembak kodeq, sebuah petuk, sebuah gong besar, sebuah gong penyentak , sebuah gong oncer, dan dua buah lelontek.
Menurut cerita, gendang beleq dahulu dimainkan bila ada pesta-pesta yang diselenggarakan oleh pihak kerajaan. Bila terjadi perang gendang ini berfungsi sebagai penyemangat prajurit yang ikut berperang.